Best Selling Books by John Man

A man searches for the sunken treasure he once protected as a sailor in WWII in this “thrilling action story” from the acclaimed historian (Tom Kasey, author of Trade Off). Murmansk, Russia, 1942. The HMS Edinburgh is sailing deep in Russian territory, a bulwark against Nazi invaders. Among the eight-hundred-strong crew is Mike Cox, a sixteen-year-old boy from the East End, London who is about to be thrown into the heat of war. A Russian ship approaches the Edinburgh with a very precious cargo—over a thousand tons of gold—as payment from the Soviet Union for the Royal Navy’s protection. Now the English ship is tasked with safeguarding a fortune as well as the Barents Sea. But when a German U-boat fires torpedoes at the Edinburgh’s hull, the crew must fight for their lives . . . and Mike is one of only a few survivors to escape from the wreck as the gold sinks eight hundred feet to the bottom of the sea. After making his way back to London, Mike finds himself more alone than ever. He starts training to become a diver with one objective in mind: to rescue that precious Arctic gold. But he’ll have to act quick—he’s not the only one looking for it . . .

Text and lavish photographs present antiquities from the Chavin, Paracas, Moche, Inca, Chimu and Columbian Indian cultures that flourished in ancient Columbia and Peru.

This book discusses some of the misinformation people believe about dinosaurs, and gives the most up-to-date facts.

A survey of exploration and discovery from the times of ancient explorers through contemporary excursions to the farthest limits of our globe including outer space, the ocean depths, and beneath the surface of the Earth.

De allieredes invasion i Normandiet 1944

"Provides a fresh insight into the sites of some of history''s greatest conflicts. By overlaying modern photographs of the battlefield with dramatic reconstructions of ten of the key battles, it compares in a unique way scenes of struggle and heroism with the often pastoral site today"--Page 4 of cover

Presents a guide to forty-seven unique destinations on seven continents, including such natural and man-made sites as Branff National Park, Istanbul, Patagonia, Argentina, Varanasi, India, Kyoto, Japan, the Great Wall of China, and Iceland.

Atlas.

An authoritative and rich history of the remarkable Xiongnu culture—a lost empire which preceded the Mongols and even China itself. The author of landmark histories such as Genghis Khan, Attila, and Xanadu invites us to discover a fertile period in Asian history that prefigured so much of the world that followed. The people of the first nomadic empire left no written records, but from 200 bc they dominated the heart of Asia for four centuries, and changed the world in the process. The Mongols, today’s descendants of Genghis Khan, see these people as ancestors. Their rise cemented Chinese identity and inspired the first Great Wall. Their descendants helped destroy the Roman Empire under the leadership of Attila the Hun. We don’t know what language they spoke, but they became known as Xiongnu, or Hunnu, a term passed down the centuries and surviving today as “Hun,” and Man uncovers new evidence that will transform our understanding of the profound mark they left on half the globe, from Europe to Central Asia and deep into China. Based on meticulous research and new archaeological evidence, Empire of Horses traces this civilization’s epic story and shows how this nomadic cultures of the steppes gave birth to an empire with the wealth and power to threaten the order of the ancient world.

The people of the first nomadic empire left no written records, but from 200 BC they dominated the heart of Asia for 400 years. They changed the world. The Mongols, today’s descendants of Genghis Khan, see them as ancestors. Their rise cemented Chinese unity and inspired the first Great Wall. Their heirs under Attila the Hun helped destroy the Roman Empire. We don’t know what language they spoke, but they became known as Xiongnu, or Hunnu, a term passed down the centuries and across Eurasia, enduring today in shortened form as ‘Hun’. Outside Asia precious little is known of their rich history, but new evidence reframes our understanding of the indelible mark they left on a vast region stretching from Europe and sweeping right across Central Asia deep into China. Based on meticulous research and new archaeological evidence, Emperors and Barbarians traces their epic story, and shows how the nomadic cultures of the steppes gave birth to a ‘barbarian empire’ with the wealth and power to threaten the civilised order of the ancient world.

This is the story of how former soldier Simon Weston returned to visit the Falkland Islands 10 years after the war. It also describes his meeting with the Argentine pilot who bombed the Sir Galahad, which resulted in the deaths of 51 soldiers from his regiment, and his own severe burning.

Durante veinte cruciales años a comienzos del siglo V, Atila tuvo el destino del imperio romano y el futuro de toda Europa en sus manos. El decadente imperio, que dominaba el mundo occidental desde su doble capital de Roma y Constantinopla, estaba amenazado por tribus bárbaras del este. Fue Atila quien creó el mayor ejército bárbaro. Su imperio rivalizó brevemente con el de Roma, extendiéndose desde el Rin hasta el Mar Negro, del Báltico a los Balcanes. En numerosas incursiones y tres grandes campañas contra el imperio romano, se ganó una inmediata e imperecedera reputación de crueldad. Pero en él había algo más que mera barbarie. El poder de Atila procedía de su asombroso carácter. Era caprichoso, arrogante y brutal, aunque también lo bastante brillante como para ganarse la lealtad de millones de individuos. Los humo lo consideraban semidivino, los godos y otros bárbaros lo adoraban, occidentales cultos estaban orgullosos de servirle. Atila también fue un astuto político. Desde su base en los prados húngaros, enviaba secretarios latinos y griegos para chantajear al imperio. Al igual que otros déspotas, antes y después, dependió del respaldo financiero extranjero, y supo aprovecharse de las debilidades de sus amigos y enemigos. Con esta mezcla única de cualidades, Atila casi llegó a dictar el futuro de Europa. Al final, sus ambiciones acabaron con él. La insensata petición de la mano de una princesa romana y ataques en el interior de Francia e Italia lo condujeron a una muerte repentina en los brazos de una nueva esposa. No fue suficiente para fundar un imperio duradero, pero sí para empujar a Roma hacia su caída final.

LEGENDA SANG PENAKLUK DARI MONGOLIA “Di mana gerangan Jenghis Khan? Ia tidak mati. Inilah yang terjadi: Seorang raja di sebuah negeri nun jauh memiliki putri seelok mentari. Jenghis Khan meminta perawan itu. Sang raja diam-diam berkata pada putrinya: ini sebilah pisau, sangat kecil dan tajam. Sembunyikan di balik pakaianmu, dan kala waktunya tiba kau tahu yang harus kaulakukan. Tatkala Yang Mulia Jenghis berbaring bersamanya, sang putri mengeluarkan pisau itu dan mengebirinya. Jenghis berteriak saat merasakan luka itu. Orang-orang bergegas masuk, namun Jenghis hanya berkata: bawa pergi gadis ini, aku ingin tidur. Jenghis terlelap dan tak pernah bangun dari tidur itu. Tetapi, bukankah Yang Mulia Jenghis akan menyembuhkan dirinya sendiri? Setelah pulih, ia akan terjaga dan menyelamatkan bangsanya" Dongeng rakyat Mongol, diadaptasi dari Owen Lattimore, Mongol Journeys Jenghis Khan adalah tokoh abadi dalam sejarah: pemimpin jenius, pendiri kerajaan darat terbesar dunia—dua kali lipat luas Romawi. Kematiannya yang misterius mempertaruhkan segalanya dalam bahaya, sehingga peristiwa itu tetap dirahasiakan sampai semua ahli warisnya berhasil mengamankan daerah taklukannya. Kerahasiaan menyelubungi dirinya sejak itu. Makamnya yang tak pernah ditemukan, dengan harta karun yang dibayangkan orang berada di dalamnya, terus jadi sasaran keingintahuan dan spekulasi. Di masa kini, Jenghis Khan kerap dianggap momok, pahlawan, dan manusia setengah dewa. Bagi umat Muslim, bangsa Rusia dan Eropa, dia seorang pembunuh massal. Namun di tanah kelahirannya, bangsa Mongol memujanya sebagai bapak bangsa; bangsa China menghormatinya sebagai pendiri dinasti; dan di kedua negara tersebut para pemuja mencari berkahnya. Buku ini lebih dari sekadar ulasan menarik tentang kebangkitan dan penaklukan Jenghis Khan. Penulisnya, John Man, menggunakan pengalaman langsung guna menyingkap pengaruh sang Khan yang terus lestari. Dialah penulis pertama yang menjelajahi lembah tersembunyi tempat Jenghis diperkirakan wafat, dan salah satu dari sedikit orang Barat yang pernah mendaki gunung keramat tempat Jenghis mungkin dimakamkan. Hasilnya, sebuah ulasan memikat tentang sang tokoh serta pelbagai “gairah” yang melingkupinya di masa kini. Dalam legenda, ritual, dan kontroversi, Jenghis Khan memang tak pernah mati.

Saigo Takamori adalah pemimpin Samurai terakhir. Kematiannya mengakhiri ratusan tahun tradisi Samurai sekaligus menandai kelahiran Jepang modern. Dia adalah sosok yang terjebak dalam paradoks: abdi yang setia kepada kaisar, namun juga pemimpin pemberontak; pejuang yang gagah perkasa, tetapi juga ahli puisi China. Samurai identik dengan prajurit utama. Dengan baju besi yang rumit, pedang tajam, dan prinsip kehormatan yang ketat, sosok Samurai menjadi ikon yang pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Ketenarannya mengilhami banyak film, novel, komik, video game, bahkan perkumpulan seni. Dalam buku ini, melalui kisah Saigo Takamori—sang Samurai terakhir—John Man mengungkapkan cerita yang sebenar-benarnya, bukan legenda belaka, tentang Samurai. Dari kelahirannya di bawah bayangan gunung berapi Sakurajima hingga kematiannya yang mulia dengan ritual bunuh diri seppuku, buku ini bagai layar sejarah yang menampilkan budaya, tradisi, dan norma-norma luhur Samurai. Dikemas dalam bingkai cerita nyata dan dirajut dengan gaya bertutur novel, inilah epos mengagumkan tentang Samurai terakhir, tokoh yang menjadi pendorong revolusi Jepang dan pada saat yang sama menjadi korbannya.

Jenghis Khan diakui sebagai pemimpin terbesar yang pernah ada. Semasa remaja, ia menjadi orang buangan, melarikan diri dari musuh-musuhnya dan bersembunyi di sebuah gunung di Mongolia utara. Seorang asing, seorang yang tak berarti. Namun, Jenghis hanya butuh dua puluh tahun untuk membangun kekaisaran darat terbesar dalam sejarah: empat kali ukuran wilayah kekuasaan Alexander Agung, dua kali ukuran kekuasaan Romawi. Bagaimana dia melakukannya? Pelajaran apa yang terungkap dari kehidupannya mengenai kepemimpinan? Apa yang dimaksud dengan "kebesaran" dalam kepemimpinan? Sifat apa saja yang melekat dalam diri Jenghis Khan? Mungkinkah sifat-sifat itu diterapkan di masa dan tempat berbeda—di sini dan saat ini? John Man mempelajari kehidupan Jenghis Khan untuk menemukan kualitas, karakter, dan strategi yang membuat dia menjadi pemimpin besar. Jawabannya kadang mencengangkan. Jauh dari sekadar menjadi tiran sebagaimana tergambar dalam sejarah, Jenghis Khan merupakan sosok pemimpin yang memiliki visi kemodernan luar biasa. Banyak dari rahasia keberhasilannya berguna dalam dunia bisnis kompetitif saat ini, sebagaimana rahasia itu berhasil mengerahkan dan mempersatukan bangsa Mongol di masa lalu.

Shalahuddin al-Ayyubi—di Barat disebut Saladin—tetap menjadi tokoh paling ikonik pada zamannya. Pemersatu bangsa Arab dan penyelamat Islam dari Tentara Salib di abad ke-12, ia pahlawan terkemuka di dunia Islam. Kukuh menjaga keimanannya dan brilian dalam kepemimpinan, ia memiliki kualitas pribadi yang dikagumi oleh musuh Kristennya. Ia mengerti batas-batas kekerasan, penuh toleransi dan kemurahan hati sehingga banyak orang Eropa melihatnya sebagai contoh ideal sosok kesatria. Tapi, Saladin lebih dari sekadar pahlawan dalam sejarah. Sosoknya abadi sepanjang hayat, dan menjadi simbol harapan bagi dunia Arab-Islam usai terpecah belah. Berabad-abad setelah kematiannya, di berbagai kota—dari Damaskus sampai Kairo dan di luarnya, hingga Semenanjung Arab dan Teluk—Shalahuddin terus jadi simbol ampuh bagi perlawanan agama dan militer terhadap Barat. Sebagai pejuang, pembangun, pelindung kesusastraan, dan teolog, dialah pusat memori Arab dan tipe ideal bagi persatuan negara Islam. Biografi otoritatif ini menghadirkan sosok Shalahuddin dan dunianya begitu detail dan hidup. Menggambarkan sang tokoh menuju kekuasaan, perjuangannya menyatukan faksi-faksi Muslim yang terus bertikai, dan pertempurannya merebut kembali Yerusalem dan mengusir pengaruh Kristen dari tanah Arab, John Man mengeksplorasi kehidupan, legenda, dan warisan abadi sang pemersatu Islam sambil menarik signifikansinya untuk dunia saat ini.

Dalam sejarah politik kekaisaran, Kubilai Khan adalah sosok penguasa legendaris. Kewenangannya mencakup lebih dari separuh wilayah Asia dan seperlima luas area dunia. Dia mewarisi obsesi untuk menguasai dunia dari kakeknya, Jenghis Khan, sang penakluk dari Mongolia. Tetapi tidak seperti sang kakek, Kubilai Khan menjadikan China, bukan Mongolia, sebagai pusat untuk mengendalikan kekuasaan: bermodal kekayaan China yang besar dipadu dengan kekuatan militer dan kelihaiannya dalam memimpin pemerintahan, dia menciptakan kekaisaran terbesar di dunia setelah tumbangnya Romawi, sekaligus meletakkan dasar bagi negara adikuasa China modern. Kubilai Khan mewarisi wilayah kekaisaran terluas dalam sejarah dari sang kakek, Jenghis Khan. Khan Agung Kekaisaran Mongolia ini kemudian melipatgandakan kekuasaannya: memperlebar cengkeramannya ke China hingga Irak, ke Siberia sampai Afghanistan. Ia juga menginvasi Jepang, Vietnam dan Kamboja, Tibet dan Thailand, Burma, serta pernah pula berusaha menundukkan Jawa (Kerajaan Singasari) tapi gagal—utusannya dipermalukan Raja Singasari Kertanagara, sedangkan pasukannya yang datang kemudian untuk membalas dendam dibinasakan tentara Majapahit pimpinan Raden Wijaya. Terlahir bukan sebagai putra mahkota, Kubilai Khan tidak ditakdirkan untuk menjadi penguasa. Dia menancapkan sendiri tonggak kepemimpinannya, dan menggenggam kekuasaan baru di usia 40 tahun. Bagaimana riwayatnya meraih kekuasaan serta bagaimana pula sepak terjangnya sebagai pemimpin terbesar dalam sejarah? Buku ini menyibak rahasia yang selama ini tak terungkap!

«Un ragazzo come tanti viene strappato da casa dal padre, portato in una regione sconosciuta e presentato all''uomo più ricco e potente del mondo, che, incredibilmente, diventa il suo mentore.» Il viaggio di Marco Polo – da Venezia alla corte di Kublai Khan in Cina – rimane uno dei più audaci della storia. Il racconto delle sue esperienze, contenuto nel Milione, ha portato alla luce un mondo completamente nuovo per la sua epoca, fatto di imperatori e concubine, maestosi edifici, enormi eserciti e ricchezze imperiali e per centinaia di anni ha rappresentato uno strumento imprescindibile per la comprensione della Cina da parte dell''Occidente. John Man ha viaggiato sulle tracce di Marco Polo fino a Xanadu, alla ricerca della verità nascosta dietro ai suoi racconti, per restituirci la storia alle origini della leggenda. Attingendo alla sua esperienza, alle ricostruzioni archeologiche e allo studio dei documenti d''archivio, ci regala un ritratto vivido dell''uomo che ha generato il mito e ci racconta la vera storia della grande corte di Kublai Khan.

Profusely illustrated text describes the characteristics and environment of the dinosaurs and suggests reasons for their sudden demise.

L''An Mil marque une étape décisive dans l''histoire de notre Terre : une communication universelle peut enfin s''esquisser. Imaginons un scénario. L''Islam trouve or et esclaves dans l''Afrique subsaharienne. L''information descend vers le sud, traverse le Sahara, remonte le Nil, arrive grâce aux bergers bantous chez les Khoï et San du Kalahari. L''Islam commerce aussi avec Byzance, elle-même en liaison avec les Russes qui contrôlent la route commerciale nord-sud et sont en contact avec les Vikings. Ces derniers se rendent régulièrement en Islande, au Groenland et commercent avec les Inuit au nord du "Canada". A ce point, notre message emprunte deux chemins divergents : le premier itinéraire, vers le sud, traverse le sud-est des "Etats-Unis" actuels, puis le sud-ouest désertique, vers l''Amérique centrale, les Andes et enfin l''Amazonie. Au nord, les Inuit de Thulé transmettent l''information vers l''"Alaska" et le nord-est de la Sibérie. Nouvelle croisée des chemins en Chine. Vers l''est, le message parvient au Japon par le biais des marchands chinois ou de la "Corée"; vers l''ouest, le message emprunte la route de la soie, vers l''Asie centrale, puis l''Inde et Ceylan... Le voyage continue. Tout cela est un rêve bien sûr. Pourtant, tous ces liens existaient : les réseaux d''une communication planétaire étaient déjà visibles. John Man tente ici, pour la première fois, une exploration originale et précise des cultures et des lieux symboles sur les cinq continents, saisis à un moment charnière.

Les Huns sont des barbares. Ils boivent, mangent (de la viande crue) et dorment sur leur cheval. Ils sont si prodigieusement laids et tordus qu’ils ressemblent à des bêtes sauvages à deux pattes. Les Huns mutilent leurs enfants. Les Huns sont arriérés. Les Huns n’ont pas de religion. Les Huns ne changent jamais de vêtement. Ils puent. C’est du moins ce que racontent les auteurs romains à la mode au IVe siècle. Ils se fondent peut-être sur de simples ragots, mais peu importe, les citoyens de l’Empire frissonnent en imaginant ces tribus se déployer derrière leurs frontières, ce monde inconnu. Et si tout cela était faux ? Et si les Huns avaient été des nomades organisés, d’excellents artisans et de grands guerriers ? Et si Attila, celui qui deviendra leur chef, au début du Ve siècle, avait été un habile politicien utilisant des secrétaires et des traducteurs pour dialoguer calmement en grec ou en romain avec les sénateurs romains ? Un fin stratège louant ses hommes comme mercenaires à l’empire d’Occident d’une part et s’arrangeant pour se faire payer un tribut annuel par celui d’Orient ? Et si Attila, en imposant l’hégémonie hunnique aux peuples germains, avait été à deux doigts de créer le premier empire d’Europe centrale ?

Voici, pour la première fois, un document qui, alliant récit, photographies et la cartographie en couleur la plus sophistiquée, retrace pas à pas, jour après jour, les stratégies, les tactiques, les mouvements des forces militaires alliées et allemandes engagées dans le plus grand débarquement de l''Histoire. Cet Atlas, où plus de 60 cartes inédites montrent l''incroyable complexité de cette bataille incertaine, constitue un outil exceptionnel pour tous ceux qui sont concernés par la Seconde Guerre mondiale, par la Libération et par les grandes ruptures de ce siècle.

Receipt (1764 Dec. 1) from Paul Trapier to James Crowly for "schooling Miss Ann Man 1 year" and for books, pens, ink, and firewood, paid from the estate of John Man, deceased.